Carok Sebagai Simbol dan Identitas Masyarakat Madura
BAB I
Carok Sebagai Simbol dan Identitas Masyarakat Madura
I. Pendahuluan
Ketika mendengar kata Madura maka yang tergambar dalam benak kita adalah kekerasan, keterbelakangan, dan masih banyak asumsi dan persepsi negatif lainnya tentang pulau yang sangat panas itu. Asumsi negatif tentang Madura masih saja sulit di hilangkan mungkin karena pulau itu mengandung sejarah yang sangat mengerikan di mata banyak orang karena tokoh Sakera yang suka bertarung dengan menggunakan celurit yang kita kenal sebagai “Carok” sehingga banyak orang luar Madura menganggap Masyarakat Madura menyukai carok padahal kalau kita telaah lagi lebih dalam tentang carok itu sendiri maka dengan sekejap anggapan itu secara otomatis akan hilang secara alami.
Sebenarnya secara etimologi kata “Madura” mempunyai nilai filosofi yang sangat tinggi yang asal katanya “Madu” yang artinya (manis) Mereka akan amat ramah, sopan, hormat dan rendah hati bahkan tidak jarang justru bisa lebih dari pada itu kalau dia tidak di singgung dan di usik ketanangannya apalagi yang berkenaan dengan harga diri mereka dan kelurganya dan justru sebaliknya kata “Ra” yang artinya darah, jadi orang Madura lebih keras dan bisa melakukan kekerasan terhadap orang yang di rasa telah menginjak harga dirinya dengan akhir pertarungan (carok) karna carok sebagai solusi bagi orang Madura sebagai media untuk mempertahankan harga diri dan kehormatan,kalau berkenaan dengan harga diri dan kehormatan orang Madura sangat sulit untuk terlalu lama bernegosiasi karna yang di pegang teguh adalah semboyan mangok pote tolang katembeng pote mata yang mempunyai arti ”lebih baik putih tulang dari pada putih mata”.
Kekerasan mengilustrasikan sifat aturan sosial, pelanggaran aturan, dan reaksi sosial terhadap pelanggaran aturan yang kompleks dan seringkali bertentangan. Ada banyak macam kekerasan di antaranya adalah kekerasan tertutup dan terbuka kekerasan ilegal dan legal , dan kekerasan yang terjadi pada masyarkat Madura adalah kekerasan (carok) yang legal dan terbuka karena carok merupakan yang di akui secara sosial demi mempertaruhkan harga diri mereka.
Banyak pertentangan mengenai carok itu sendiri mulai dari arti sampai ke cara-cara dan prosesinya, banyak para pakar sosial yang mengkaji tentang budaya Madura di antaranya adalah Ibnu Hajar sebagai seorang budayawan mempunyai pengrtian tantang carok, dia mengatakan carok adalah duel satu lawan satu dan ada kesepakatan sebelumnya untuk melakukan duel. Bahkan disertai ritual-ritual tertentu sebagai persiapan menjelang carok. Kedua belah pihak pelaku carok, sebelumnya sama-sama mendapat restu dari keluarga masing-masing. Karenanya, sebelum hari H duel maut bersenjata celurit dilakukan, di rumahnya diselenggarakan selamatan, pembekalan, pengajian, dan lainnya. Oleh keluarganya, pelaku carok sudah dipersiapkan dan diikhlaskan untuk terbunuh . Carok itu tidak di lakukan secara beramai-ramai jadi istilah carok massal itu tidak ada meskipun mengunakan celurit dalam pertarungan itu, kalaupun itu terjadi itu tidak masuk dalam katagori carok dan itu bisa di sebut sebagai perkelahian massal atau sebagai tawuran karena carok adalah pertarungan kesatria sesame kesatria dalam memperebutkan harga diri dan kehormatan kelurganya, misalnya Amin di bunuh oleh Abdul dalam pertarungan itu dan Amin mempunyai anak Kasmin yang masih kecil maka kelak kasmin akan berusaha mencari dan menentang Abdul yang telah membunuh ayahnya dan sekaligus sebagai orang yang telah merebut kehormatan keluarganya tapi bukan berarti carok adalah kejahatan yang tersruktur melainkan aktualisasi seorang kesatria yang bisa mempertahankan harga diri dan kehormatan keluarganya.
Carok sebagai sesuatu yang memang menjadi ciri khas masyarakat Madura sehingga ketika etnis lain mendengar Madura maka yang terbayang dari benak mereka adalah carok, kerapan, besi tua dan sate padahal sate yang berasal dari Madura sama saja dengan sate yang berasal dari daerah lain mungkin karena promosi dan diplomasi orang Madura dalam menjual sate sangat luar biasa hanya saja luar etnis Madura kebanyakan orang memandang sebalah mata tentang daerah yang kebanyakan masyarakatnya mempunyai kulit yang agak sedikit hitam itu. Meskipun anggapan negatif itu masih ada bagi daerah yang di kenal sabagai Madura kota garam (Mataram) itu tapi para penerus dan pemuda bisa bertarung di ranah intelektual contoh kecilnya saja adalah kota Malang yang banyak Universitas di dalamnya yang kebanyakan berada di posisi strategis di kampus maupun organisasi pengkaderan di huni oleh pemuda progresif yang daerahnya di asumsikan miring.
BAB II
II. Pembahasan
2.1 Pandangan Carok bagi Masarakat Madura
Di pendahulaun telah di jelaskan tentang bagaimana pandangan masyarakat Madura mengenai carok sebagai kekerasan yang di tolelir oleh sosial dan budaya. Bagi masyarakat Madura, carok adalah institusionalisasi kekerasan yang memiliki relasi sangat kuat dengan faktor-faktor struktur budaya, struktur sosial, kondisi sosial ekonomi, dan agama. Secara historis telah dilakukan oleh sebagian masyarakat Madura sejak beberapa abad lalu membunuh tidak mneggunakan clurit melainkan keris dan namanya juga bukan carok dan juga prosesinya, selain memiliki kaitan dengan faktor-faktor tersebut, tampaknya juga tidak dapat dilepaskan dari faktor politik, yaitu lemahnya otoritas negara/pemerintah sejak sebelum dan sesudah kemerdekaan dalam mengontrol sumber-sumber kekerasan, serta ketidakmampuan memberikan perlindungan terhadap masyarakat akan rasa keadilan selain itu pengakuan dan dukungan carok dalam masyarakat Madura juga dapat dilihat dari predikat sebagai orang jago merupakan kebanggaan bagi para pemenang carok.
Dari pembahasan di atas carok bagi masyarakat Madura bukanlah sesuatu perbedaan yang perlu ditolerir, bahkan lebih dari itu carok di anggap sebagai tradisi budaya yang dibenarkan, diperbolehkan, mendapat dukungan, bahkan dilestarikan.
2.2 Persepsi Negatif Oleh Masyarakat Di Luar Etnik Madura dan Negara
Bagi masyarakat di luar etnik Madura dan negara, carok adalah tindakan kekerasan yang tidak bisa ditolerir, karena adanya korban yang terbunuh (kekerasan fisik). Tetapi jangan dilupakan bahwa, bentuk kekerasan tidak hanya menyangkut kekerasan fisik, tetapi kekerasan psikologi . Bisa saja dalam kebudayaan etnik Jawa tidak ada kekerasan yang sifatnya kekerasan fisik, tetapi dengan memingit anak, menjodohkan anak berdasarkan bobot, bibit dan bebet adalah salah satu bentuk kekerasan kejiwaan.
Negara tentu saja saya pikir adalah pelaku kekerasan terkejam dan terbanyak, contohnya : membiarkan anak-anak terlantar di jalanan tanpa perlindungan dan jaminan, membiarkan berjuta warga negaranya menjadi pengangguran, para jompo harus kelaparan dan orang gila yang tidak terurus.
Kalau di tinjau dari hukum indonesia sangatlah fatal kesalahannya,tentang Hak Asasi Manusia (HAM),pada pasal 21A “setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”
Tidak itu saja, agama sebagai institusi yang mengajarkan manusia mencintai sesama dan hidup berdampingan secara damai, juga tanpa disadari melegalkan kekerasan. Contoh : dalam agama Islam yang bersifat patriakal, menganggap perempuan adalah sebagai tokoh yang menyebabkan laki-laki terjatuh dalam dosa. Dalam agama Katolik, kekerasan kejiwaan yang terjadi adalah diyakini bahwa seorang pendeta dan biara dilarang untuk menikah.
Masyarakat di luar etnik Madura akan melihat carok dengan penilaian negatif dan memberikan cap kepada masyarakat atau etnik Madura sebagai orang yang kejam, karena mereka memandangnya juga dengan nilai yang berbeda, Masyarakat di luar etnik Madura yang sadar akan membiarkan perbedaan itu sebagai sebuah fenomena hidup dari pemikiran seorang manusia yang menciptakan budayanya sendiri.
BAB III
3.1 Kesimpulan
Dari makalah ini dapat di ambil kesmpulan bahwasanya carok sebagai kekerasan yang di akui dan di terima oleh masyarakat Madura karna itulah salah satu ciri khas orang Madura.
Carok adalah tindakan pembalasan dendam yang disebabkan oleh pelecehan harga diri seseorang terhadap orang lain. Tindakan pemblasan dendam ini dilakukan dengan adu duel (menggunakan senjata celurit) hingga ada korban yang mati, satu lawan satu dan antara laki-laki. Bisa saja dilakukan massal (carok massal), namun jarang terjadi.
Motivasi carok adalah pelecehan harga diri terutama masalah perempuan, istri dan anggota kelurga, memperthankan martabat, perebutan harta warisan dan pembalasan dendam karena kakak kandungnya dibunuh.
Carok adalah solusi bagi masyarakat Madura dlam menyelesaikan konflik, karena sejarah yang sudah berabad-abad lamanya membentuk mereka untuk tidak meyakini dan mempercayai pengadilan atau hukum positif yang berlaku.
Carok bagi masyarakat Madura bukanlah sebuah perbedaan yang perlu dinilai negatif atau dipertentangkan. Tetapi carok dipercaya sebagai tradisi yang membantu masyarakat memperoleh kembali harga dirinya, dan opsi penyelesaian konflik yang paling ampuh meskipun bersifat sesaat.
Adalah konsekuensi sebagai bangsa yang besar dan terbentuk dari perbedaan yang tidak terhitung bentuk dan jumlahnya, maka, masyarakat di luar etnik Madura perlu memahami perbedaan itu tidak dari kacamata mayoritas tetapi sebaliknya dari kacamata minoritas.
Akan tetapi perlu dilihat dari beberapa sudut pandang bahwa kejadian itu tetap tidak diprbolehkan oleh negara karena menyalahi Hak Asasi Manusia secara hukum yang ada di Indonesia.
3.2 Saran
Setiap permasalahan perlu di lihat sebab- musabbabnya sehingga pada penyelesaian akhirnya tidak ada yang merasa di rugikan dan membentuk sebuah keadilan tidak harus dengan kekerasan seperti halnya dilakukan dengan cara kekeluargaan, jika hal itu belum bisa menyelesaikan masalahnya maka sudut akhir kembalikan ke hukum aturan negara yang sudah di tetapkan.
Daftar Pustaka
Wiyata, A. Latif 17/11/2008,http://.zkarnain.tripod.com/ALWIYATA.HTM.
Dauglas, Jack (2002) “ Teori-Teori Kekerasan” yang di sadur oleh Thomas Santoso, Ghalia Indonesia,Surabaya,
Hajar, Ibnu, http://posmo.wordpress.com/2006/07/21/carok-sarkasme-orang-madura/
Drs Badrus. (1997) “ Sejarah Madura” seppon, Sumenep
Mustika Dewi, Indri Hapsari http//id.wikipedia.org/wiki/carok/
Salmi, Jamil,Ph.D, (2005) ”Violence and Democratic Society” Pilar Media, Yogyakarta
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, (2007) Jl. Medan Merdeka Barat No. 7, Jakarta
Carok Sebagai Simbol dan Identitas Masyarakat Madura
I. Pendahuluan
Ketika mendengar kata Madura maka yang tergambar dalam benak kita adalah kekerasan, keterbelakangan, dan masih banyak asumsi dan persepsi negatif lainnya tentang pulau yang sangat panas itu. Asumsi negatif tentang Madura masih saja sulit di hilangkan mungkin karena pulau itu mengandung sejarah yang sangat mengerikan di mata banyak orang karena tokoh Sakera yang suka bertarung dengan menggunakan celurit yang kita kenal sebagai “Carok” sehingga banyak orang luar Madura menganggap Masyarakat Madura menyukai carok padahal kalau kita telaah lagi lebih dalam tentang carok itu sendiri maka dengan sekejap anggapan itu secara otomatis akan hilang secara alami.
Sebenarnya secara etimologi kata “Madura” mempunyai nilai filosofi yang sangat tinggi yang asal katanya “Madu” yang artinya (manis) Mereka akan amat ramah, sopan, hormat dan rendah hati bahkan tidak jarang justru bisa lebih dari pada itu kalau dia tidak di singgung dan di usik ketanangannya apalagi yang berkenaan dengan harga diri mereka dan kelurganya dan justru sebaliknya kata “Ra” yang artinya darah, jadi orang Madura lebih keras dan bisa melakukan kekerasan terhadap orang yang di rasa telah menginjak harga dirinya dengan akhir pertarungan (carok) karna carok sebagai solusi bagi orang Madura sebagai media untuk mempertahankan harga diri dan kehormatan,kalau berkenaan dengan harga diri dan kehormatan orang Madura sangat sulit untuk terlalu lama bernegosiasi karna yang di pegang teguh adalah semboyan mangok pote tolang katembeng pote mata yang mempunyai arti ”lebih baik putih tulang dari pada putih mata”.
Kekerasan mengilustrasikan sifat aturan sosial, pelanggaran aturan, dan reaksi sosial terhadap pelanggaran aturan yang kompleks dan seringkali bertentangan. Ada banyak macam kekerasan di antaranya adalah kekerasan tertutup dan terbuka kekerasan ilegal dan legal , dan kekerasan yang terjadi pada masyarkat Madura adalah kekerasan (carok) yang legal dan terbuka karena carok merupakan yang di akui secara sosial demi mempertaruhkan harga diri mereka.
Banyak pertentangan mengenai carok itu sendiri mulai dari arti sampai ke cara-cara dan prosesinya, banyak para pakar sosial yang mengkaji tentang budaya Madura di antaranya adalah Ibnu Hajar sebagai seorang budayawan mempunyai pengrtian tantang carok, dia mengatakan carok adalah duel satu lawan satu dan ada kesepakatan sebelumnya untuk melakukan duel. Bahkan disertai ritual-ritual tertentu sebagai persiapan menjelang carok. Kedua belah pihak pelaku carok, sebelumnya sama-sama mendapat restu dari keluarga masing-masing. Karenanya, sebelum hari H duel maut bersenjata celurit dilakukan, di rumahnya diselenggarakan selamatan, pembekalan, pengajian, dan lainnya. Oleh keluarganya, pelaku carok sudah dipersiapkan dan diikhlaskan untuk terbunuh . Carok itu tidak di lakukan secara beramai-ramai jadi istilah carok massal itu tidak ada meskipun mengunakan celurit dalam pertarungan itu, kalaupun itu terjadi itu tidak masuk dalam katagori carok dan itu bisa di sebut sebagai perkelahian massal atau sebagai tawuran karena carok adalah pertarungan kesatria sesame kesatria dalam memperebutkan harga diri dan kehormatan kelurganya, misalnya Amin di bunuh oleh Abdul dalam pertarungan itu dan Amin mempunyai anak Kasmin yang masih kecil maka kelak kasmin akan berusaha mencari dan menentang Abdul yang telah membunuh ayahnya dan sekaligus sebagai orang yang telah merebut kehormatan keluarganya tapi bukan berarti carok adalah kejahatan yang tersruktur melainkan aktualisasi seorang kesatria yang bisa mempertahankan harga diri dan kehormatan keluarganya.
Carok sebagai sesuatu yang memang menjadi ciri khas masyarakat Madura sehingga ketika etnis lain mendengar Madura maka yang terbayang dari benak mereka adalah carok, kerapan, besi tua dan sate padahal sate yang berasal dari Madura sama saja dengan sate yang berasal dari daerah lain mungkin karena promosi dan diplomasi orang Madura dalam menjual sate sangat luar biasa hanya saja luar etnis Madura kebanyakan orang memandang sebalah mata tentang daerah yang kebanyakan masyarakatnya mempunyai kulit yang agak sedikit hitam itu. Meskipun anggapan negatif itu masih ada bagi daerah yang di kenal sabagai Madura kota garam (Mataram) itu tapi para penerus dan pemuda bisa bertarung di ranah intelektual contoh kecilnya saja adalah kota Malang yang banyak Universitas di dalamnya yang kebanyakan berada di posisi strategis di kampus maupun organisasi pengkaderan di huni oleh pemuda progresif yang daerahnya di asumsikan miring.
BAB II
II. Pembahasan
2.1 Pandangan Carok bagi Masarakat Madura
Di pendahulaun telah di jelaskan tentang bagaimana pandangan masyarakat Madura mengenai carok sebagai kekerasan yang di tolelir oleh sosial dan budaya. Bagi masyarakat Madura, carok adalah institusionalisasi kekerasan yang memiliki relasi sangat kuat dengan faktor-faktor struktur budaya, struktur sosial, kondisi sosial ekonomi, dan agama. Secara historis telah dilakukan oleh sebagian masyarakat Madura sejak beberapa abad lalu membunuh tidak mneggunakan clurit melainkan keris dan namanya juga bukan carok dan juga prosesinya, selain memiliki kaitan dengan faktor-faktor tersebut, tampaknya juga tidak dapat dilepaskan dari faktor politik, yaitu lemahnya otoritas negara/pemerintah sejak sebelum dan sesudah kemerdekaan dalam mengontrol sumber-sumber kekerasan, serta ketidakmampuan memberikan perlindungan terhadap masyarakat akan rasa keadilan selain itu pengakuan dan dukungan carok dalam masyarakat Madura juga dapat dilihat dari predikat sebagai orang jago merupakan kebanggaan bagi para pemenang carok.
Dari pembahasan di atas carok bagi masyarakat Madura bukanlah sesuatu perbedaan yang perlu ditolerir, bahkan lebih dari itu carok di anggap sebagai tradisi budaya yang dibenarkan, diperbolehkan, mendapat dukungan, bahkan dilestarikan.
2.2 Persepsi Negatif Oleh Masyarakat Di Luar Etnik Madura dan Negara
Bagi masyarakat di luar etnik Madura dan negara, carok adalah tindakan kekerasan yang tidak bisa ditolerir, karena adanya korban yang terbunuh (kekerasan fisik). Tetapi jangan dilupakan bahwa, bentuk kekerasan tidak hanya menyangkut kekerasan fisik, tetapi kekerasan psikologi . Bisa saja dalam kebudayaan etnik Jawa tidak ada kekerasan yang sifatnya kekerasan fisik, tetapi dengan memingit anak, menjodohkan anak berdasarkan bobot, bibit dan bebet adalah salah satu bentuk kekerasan kejiwaan.
Negara tentu saja saya pikir adalah pelaku kekerasan terkejam dan terbanyak, contohnya : membiarkan anak-anak terlantar di jalanan tanpa perlindungan dan jaminan, membiarkan berjuta warga negaranya menjadi pengangguran, para jompo harus kelaparan dan orang gila yang tidak terurus.
Kalau di tinjau dari hukum indonesia sangatlah fatal kesalahannya,tentang Hak Asasi Manusia (HAM),pada pasal 21A “setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”
Tidak itu saja, agama sebagai institusi yang mengajarkan manusia mencintai sesama dan hidup berdampingan secara damai, juga tanpa disadari melegalkan kekerasan. Contoh : dalam agama Islam yang bersifat patriakal, menganggap perempuan adalah sebagai tokoh yang menyebabkan laki-laki terjatuh dalam dosa. Dalam agama Katolik, kekerasan kejiwaan yang terjadi adalah diyakini bahwa seorang pendeta dan biara dilarang untuk menikah.
Masyarakat di luar etnik Madura akan melihat carok dengan penilaian negatif dan memberikan cap kepada masyarakat atau etnik Madura sebagai orang yang kejam, karena mereka memandangnya juga dengan nilai yang berbeda, Masyarakat di luar etnik Madura yang sadar akan membiarkan perbedaan itu sebagai sebuah fenomena hidup dari pemikiran seorang manusia yang menciptakan budayanya sendiri.
BAB III
3.1 Kesimpulan
Dari makalah ini dapat di ambil kesmpulan bahwasanya carok sebagai kekerasan yang di akui dan di terima oleh masyarakat Madura karna itulah salah satu ciri khas orang Madura.
Carok adalah tindakan pembalasan dendam yang disebabkan oleh pelecehan harga diri seseorang terhadap orang lain. Tindakan pemblasan dendam ini dilakukan dengan adu duel (menggunakan senjata celurit) hingga ada korban yang mati, satu lawan satu dan antara laki-laki. Bisa saja dilakukan massal (carok massal), namun jarang terjadi.
Motivasi carok adalah pelecehan harga diri terutama masalah perempuan, istri dan anggota kelurga, memperthankan martabat, perebutan harta warisan dan pembalasan dendam karena kakak kandungnya dibunuh.
Carok adalah solusi bagi masyarakat Madura dlam menyelesaikan konflik, karena sejarah yang sudah berabad-abad lamanya membentuk mereka untuk tidak meyakini dan mempercayai pengadilan atau hukum positif yang berlaku.
Carok bagi masyarakat Madura bukanlah sebuah perbedaan yang perlu dinilai negatif atau dipertentangkan. Tetapi carok dipercaya sebagai tradisi yang membantu masyarakat memperoleh kembali harga dirinya, dan opsi penyelesaian konflik yang paling ampuh meskipun bersifat sesaat.
Adalah konsekuensi sebagai bangsa yang besar dan terbentuk dari perbedaan yang tidak terhitung bentuk dan jumlahnya, maka, masyarakat di luar etnik Madura perlu memahami perbedaan itu tidak dari kacamata mayoritas tetapi sebaliknya dari kacamata minoritas.
Akan tetapi perlu dilihat dari beberapa sudut pandang bahwa kejadian itu tetap tidak diprbolehkan oleh negara karena menyalahi Hak Asasi Manusia secara hukum yang ada di Indonesia.
3.2 Saran
Setiap permasalahan perlu di lihat sebab- musabbabnya sehingga pada penyelesaian akhirnya tidak ada yang merasa di rugikan dan membentuk sebuah keadilan tidak harus dengan kekerasan seperti halnya dilakukan dengan cara kekeluargaan, jika hal itu belum bisa menyelesaikan masalahnya maka sudut akhir kembalikan ke hukum aturan negara yang sudah di tetapkan.
Daftar Pustaka
Wiyata, A. Latif 17/11/2008,http://.zkarnain.tripod.com/ALWIYATA.HTM.
Dauglas, Jack (2002) “ Teori-Teori Kekerasan” yang di sadur oleh Thomas Santoso, Ghalia Indonesia,Surabaya,
Hajar, Ibnu, http://posmo.wordpress.com/2006/07/21/carok-sarkasme-orang-madura/
Drs Badrus. (1997) “ Sejarah Madura” seppon, Sumenep
Mustika Dewi, Indri Hapsari http//id.wikipedia.org/wiki/carok/
Salmi, Jamil,Ph.D, (2005) ”Violence and Democratic Society” Pilar Media, Yogyakarta
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, (2007) Jl. Medan Merdeka Barat No. 7, Jakarta
saya bangga sebagai orag madura
BalasHapuswalau terkadang orang buruk menilai nya
kenali kami biar anda semua tahu kami itu suku yg kayak gimana
masyarakat madura yang sangat menjaga etika dan hargadiri tidak hanya untuk dirinya sendiri tapi juga harga diri orang lain.
BalasHapus