MELUKIS WAJAH DEMOKRASI INDONESIA
MELUKIS
WAJAH DEMOKRASI INDONESIA
Sebagai
mekanisme demokrasi, pemilu menjadi kunci kemapanan dan kematangan budaya
politik demokrasi. Pemilu yang masih jauh dari substansi demokrasi seperti yang
terjadi saat ini harus disadari sebagai proses pendewasaan demokrasi. Kian
matang demokrasi Indonesia, kian beradab dan bermutu pemilu yang
diselenggarakan.
Dalam
proses demokratisasi, pemilu menempati tempat yang begitu agungnya, dijunjung,
dipuja dan dielu-elukan oleh semua pihak, karena pemilu ‘secara normatif’
disinyalir akan dapat menghasilkan/membuat suatu perubahan walaupun dalam demokrasi
paling tidak menurut Hutington pemilu bukan segalanya meski ia amat perlu.
Mustahil ada demokrasi tanpa pemilu. Ketidakmeluluan pemilu bertumpu pada
asumsi bahwa demokrasi bukan sekadar berbicara sebuah sistem dan prosedur pemerintahan,
yang oleh Schumpeter disebut sebagai metode politik. Bagi Schumpeter (2006 :
176), demokrasi atau metode demokratis tidak lebih dari pengaturan kelembagaan
untuk mencapai aneka keputusan politik di mana individu melalui perjuangan
memperebutkan suara rakyat, pemilih memperoleh kekuasaan untuk membuat
keputusan. Demokrasi akhirnya menjadi perjalanan panjang, terjadi pertarungan,
persaingan yang berujung konsensus. Tidak ada konsensus yang mampu memuaskan
semua pihak. Selalu ada tarik ulur antara yang ideal dengan yang aktual,
keinginan untuk otonomi dan kontrol, kehendak untuk berekspresi dan ketertiban.
Bila dicermati lebih lanjut sebenarnya pemilu
mempunyai 2 unsur yakni unsure prosedural dan unsure substansial, dalam unsure
prosedural ada yang dinamakan one man dan one vote Zudianto (2008:30),
sedangkan dalam unsur substasial dikenal dengan sebutan one value. Selanjutnya
pada aspek one value, aspek value disini sangat berkaitan erat sekali dengan
aspek substansi demokrasi itu sendiri. Karena substansi asal adalah pemilu
untuk memilih wakil rakyat yang nantinya akan memperjuangkan konstituennya
dengan berbagai fungsi, hak dan kewajibannya untuk mensejahterakan rakyat.
Namun apakah hal tersebut betul-betul terjadi? Salah satu yang patut untuk disoroti
adalah partai politik sebagai saluran aspirasi politik masyarakat, contoh kecil
pada saat kampanye, Apakah ada partai
politik yang memberikan program pendidikan politik untuk masyarakat
dalam bentuk komunikasi politik yang transparan dan akuntabel? Sepertinya yang
ada semua partai melakukan proses komunikasi politik instan dengan berbagai
format kampanye yang sama sekali tidak ada unsur pendidikan politik. Hanya ada
unsur heboh, menghibur, membagi materi yang menjadikan rakyat tidak bertambah
pemahaman politiknya.
Rakyat lebih banyak diajak berpikir instan,
cash and carry, ataupun diajak untuk percaya melakukan pilihannya tidak dengan
rasionalitas/kesadaran rasional tinggi namun lebih dalam pemikiran yang
bersifat meninabobokan atau pembiusan sesaat. Seperti format kampanye terbuka,
yang selalu targetnya hanyalah satu: bagaimana menarik pengunjung sebanyak-banyaknya dalam kampanye terbuka itu
dengan cara/format lebih menonjolkan menyenangkan pengunjung dengan hiburan
ada, dari musik pop, musik dangdut, atraksi lain-lain atau bentuk hura-hura
yang lain pokoknya serba menyenangkan, heboh, bukan mencerdaskan. Terlebih di
beberapa daerah ada istilah “serangan fajar” yakni dengan membagi-bagikan
materi (sembako maupun uang) pada pagi hari sebelum pencoblosan. Kelakuan
partai seperti itulah yang semakin meninabobokkan masyarakat, sehingga
masyarakat semakin jauh dari tujuan yang substansial yakni one value. Buadaya demokratis harus berarti adanya pemahaman bahwa
demokrasi bukanlah panacea. Karena itu, konsulidasi demokrasi merupakan solusi
dari masalah tetapi belum tentu untuk masalah lain dahl (1997:263).
Paparan diatas tentang one man, one vote dan one value juga merupakan jawaban dari bagaimana
konstelasi pemilu dilihat dari konteks demokratisasi di Indonesia, secara sederhananya seperti ini, ketika
pemilu telah dinyatakan cacat, maka sistem demokrtisasi pun akan demikian juga meskipun
sekali lagi cacat disini bukan berti rusak semuanya seperti analogi yang telah
disampaikan diatas, karena bagaimanapun pemilu merupakan instrument vital dari
pembentukan demokratisasi, pemilu yang baik akan mencetak pemimpin yang baik
pula.
Namun juga
harus disadari bahwa tidak ada rekonstruksi tanpa dekonstruksi. Dekonstruksi
tanpa rekonstruksi hanya akan membawa petaka. Seperti membangun istana pasir
yang terhempas ombak. Menata adalah menyusun kebaikan yang sudah runtuh, bukan
menghidupkan kepingan busuk yang telah digerus. Mendesakkan dan memastikan
proses demokratisasi di negeri ini untuk bergerak ke arah rekonstruksi adalah
kewajiban semua pihak. Di sanalah kematangan demokrasi diuji. Pemilu bisa
menjadi momentum untuk melakukan itu. Sehingga kedepannya wajah demokrasi
Indonesia yang elok dan menawan akan bisa tergores indah diatas kanvas sejarah
yang tentunya bersubstansi kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang
adil dan beradab, persatuan Indonesia, kesejahteraan yang dipimpin oleh hikmat
permusyawaratan dalam perwakilan, keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia.
bismillah.
* Mahasiswa Program Studi Ilmu Politik
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Univ. Brawijaya Malang.
Tidak ada komentar