MELUKIS WAJAH DEMOKRASI INDONESIA

MELUKIS WAJAH DEMOKRASI INDONESIA

Oleh: Hosnan Abrory*

Seiring dengan datangnya era reformasi pada pertengahan tahun 1998 yang lalu, Indonesia memasuki masa transisi dari era otoritarian yang berbungkus demokrasi bisa dikatan begitu karena proses-proses demokrasi masih dipakai, seperti masih terselenggaranya pemilu, walaupun hanya prosedural ke era demokrasi. Dalam masa transisi itu, telah terjadi perubahan-perubahan yang bersifat fundamental dalam berbagai bidang kehidupan, salah satunya adalah perubahan dalam tatanan kehidupan politik baru yang demokratis. Arah baru ini menjadikan Indonesia bila meminjam istilah Ginanjar Kartasasmita yakni istilah Freedom House. Yakni dimana seluruh prosedur-prosedur demokrasi seperti pemilu, mulai dikembalikan ke arah yang sebenarnya. Salah satunya bila dulu masa orde baru penyelenggaraan pemilu ada dalam balik ketiak pemerintahan, pada era reformasi pemilu diselenggarakan oleh sebuah badan independen yang bernama Komisi Pemilihan Umum.
Sebagai mekanisme demokrasi, pemilu menjadi kunci kemapanan dan kematangan budaya politik demokrasi. Pemilu yang masih jauh dari substansi demokrasi seperti yang terjadi saat ini harus disadari sebagai proses pendewasaan demokrasi. Kian matang demokrasi Indonesia, kian beradab dan bermutu pemilu yang diselenggarakan.
Dalam proses demokratisasi, pemilu menempati tempat yang begitu agungnya, dijunjung, dipuja dan dielu-elukan oleh semua pihak, karena pemilu ‘secara normatif’ disinyalir akan dapat menghasilkan/membuat suatu perubahan walaupun dalam demokrasi paling tidak menurut Hutington pemilu bukan segalanya meski ia amat perlu. Mustahil ada demokrasi tanpa pemilu. Ketidakmeluluan pemilu bertumpu pada asumsi bahwa demokrasi bukan sekadar berbicara sebuah sistem dan prosedur pemerintahan, yang oleh Schumpeter disebut sebagai metode politik. Bagi Schumpeter (2006 : 176), demokrasi atau metode demokratis tidak lebih dari pengaturan kelembagaan untuk mencapai aneka keputusan politik di mana individu melalui perjuangan memperebutkan suara rakyat, pemilih memperoleh kekuasaan untuk membuat keputusan. Demokrasi akhirnya menjadi perjalanan panjang, terjadi pertarungan, persaingan yang berujung konsensus. Tidak ada konsensus yang mampu memuaskan semua pihak. Selalu ada tarik ulur antara yang ideal dengan yang aktual, keinginan untuk otonomi dan kontrol, kehendak untuk berekspresi dan ketertiban.
Bila dicermati lebih lanjut sebenarnya pemilu mempunyai 2 unsur yakni unsure prosedural dan unsure substansial, dalam unsure prosedural ada yang dinamakan one man dan one vote Zudianto (2008:30), sedangkan dalam unsur substasial dikenal dengan sebutan one value. Selanjutnya pada aspek one value, aspek value disini sangat berkaitan erat sekali dengan aspek substansi demokrasi itu sendiri. Karena substansi asal adalah pemilu untuk memilih wakil rakyat yang nantinya akan memperjuangkan konstituennya dengan berbagai fungsi, hak dan kewajibannya untuk mensejahterakan rakyat. Namun apakah hal tersebut betul-betul terjadi? Salah satu yang patut untuk disoroti adalah partai politik sebagai saluran aspirasi politik masyarakat, contoh kecil pada saat kampanye, Apakah ada partai  politik yang memberikan program pendidikan politik untuk masyarakat dalam bentuk komunikasi politik yang transparan dan akuntabel? Sepertinya yang ada semua partai melakukan proses komunikasi politik instan dengan berbagai format kampanye yang sama sekali tidak ada unsur pendidikan politik. Hanya ada unsur heboh, menghibur, membagi materi yang menjadikan rakyat tidak bertambah pemahaman politiknya.
Rakyat lebih banyak diajak berpikir instan, cash and carry, ataupun diajak untuk percaya melakukan pilihannya tidak dengan rasionalitas/kesadaran rasional tinggi namun lebih dalam pemikiran yang bersifat meninabobokan atau pembiusan sesaat. Seperti format kampanye terbuka, yang selalu targetnya hanyalah satu: bagaimana menarik pengunjung  sebanyak-banyaknya dalam kampanye terbuka itu dengan cara/format lebih menonjolkan menyenangkan pengunjung dengan hiburan ada, dari musik pop, musik dangdut, atraksi lain-lain atau bentuk hura-hura yang lain pokoknya serba menyenangkan, heboh, bukan mencerdaskan. Terlebih di beberapa daerah ada istilah “serangan fajar” yakni dengan membagi-bagikan materi (sembako maupun uang) pada pagi hari sebelum pencoblosan. Kelakuan partai seperti itulah yang semakin meninabobokkan masyarakat, sehingga masyarakat semakin jauh dari tujuan yang substansial yakni one value. Buadaya demokratis harus berarti adanya pemahaman bahwa demokrasi bukanlah panacea. Karena itu, konsulidasi demokrasi merupakan solusi dari masalah tetapi belum tentu untuk masalah lain dahl (1997:263).
Paparan diatas tentang one man, one vote dan one value juga merupakan jawaban dari bagaimana konstelasi pemilu dilihat dari konteks demokratisasi di Indonesia, secara sederhananya seperti ini, ketika pemilu telah dinyatakan cacat, maka sistem demokrtisasi pun akan demikian juga meskipun sekali lagi cacat disini bukan berti rusak semuanya seperti analogi yang telah disampaikan diatas, karena bagaimanapun pemilu merupakan instrument vital dari pembentukan demokratisasi, pemilu yang baik akan mencetak pemimpin yang baik pula.
Namun juga harus disadari bahwa tidak ada rekonstruksi tanpa dekonstruksi. Dekonstruksi tanpa rekonstruksi hanya akan membawa petaka. Seperti membangun istana pasir yang terhempas ombak. Menata adalah menyusun kebaikan yang sudah runtuh, bukan menghidupkan kepingan busuk yang telah digerus. Mendesakkan dan memastikan proses demokratisasi di negeri ini untuk bergerak ke arah rekonstruksi adalah kewajiban semua pihak. Di sanalah kematangan demokrasi diuji. Pemilu bisa menjadi momentum untuk melakukan itu. Sehingga kedepannya wajah demokrasi Indonesia yang elok dan menawan akan bisa tergores indah diatas kanvas sejarah yang tentunya bersubstansi kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kesejahteraan yang dipimpin oleh hikmat permusyawaratan dalam perwakilan, keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia. bismillah.
* Mahasiswa Program Studi Ilmu Politik
   Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

                   Univ. Brawijaya Malang.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.