KALIMAT TAUHID


Sebagaimana mafhum, akidah Islam memang harus dimulai dengan sebuah kode akses (password) berupa kalimat tauhid atau pengakuan akan keberadaan Tuhan: la ilaha yang disebut nafi (negasi) atau meniadakan dan illaLlah yang berarti itsbat (afirmasi) atau menetapkan. Dengan kata lain, keyakinan yang dibangun dalam hati haruslah dimulai dengan pernyataan bahwa “tidak ada” Tuhan “kecuali” Allah SWT itu sendiri.
Terma nafi dan itsbat ini menjadi penting, apalagi manusia memang tidak jarang terjebak dalam situasi “penyembahaan dan penghambaan” pada selain Tuhan, contoh konkretnya adalah manusia—dari strata sosial manapun—tidak sedikit yang diperbudak oleh keinginan, syahwat futuristis, status sosial, media sosial, harta, wanita, onta/toyota, reputasi, popularitas, self esteem dan segala rupa. Itu berarti, manusia masih menuhankan selain Allah Azza wa Jalla.
Namun demikian, dalam hemat penulis yang tidak terlalu hemat, setiap ranah pengetahuan dan disiplin ilmu memiliki klaim kebenaran masing-masing perihal nafi-itsbat atau negasi-afirmasi tersebut, yakni:
1. Para skriptualis atau kaum tekstualis memaknai la ilaha dengan la ma’buda (tidak ada yang wajib disembah dan diibadahi) kecuali Allah sendiri. Inilah klaim paling semenjana yang jamak diikuti oleh kebanyakan umat Islam dari dulu, dan kini kian menggila dan menggilas. Ironisnya, bagi kaum skriptualis, ibadah itu harus formal dan eksklusif, karena hanya dengan itulah Tuhan bisa dikenali.
Corak berpikir fiqhiyyah ini akan cenderung mengklaim orang atau mazhab lain kafir, syirik dan salah sama sekali. Sehingga, kebanyakan mereka sulit dan bahkan tidak bisa membedakan mana ranah agama (din) dan mana ranah keagamaan (diniyyah).
Contoh konkret, ada orang sembari berteriak mengaku dirinya Tuhan, "Akulah Tuhan, maka sembahlah aku!" Atau misalnya ada orang meniru-niru ucapan Al-Hallaj, "ana al-Haqq (akulah yang Mahabenar!)" atau memekik meniru syathahat Al-Busthami, "subhani subhani (Mahasuci aku!)" Mendengar itu, segera kaum sumbu pendek ramai-ramai menuduh orang tersebut kafir dan menghalalkan darahnya, padahal boleh jadi yang bersangkutan hanya sedang membaca puisi-puisi tentang Fir'aun (Pharao) yang mengaku Tuhan, atau mungkin sedang membaca syathahat para Sufi. Akan tetapi, mengapa dengan gampangnya, kaum tekstualis mengkafir-kafirkan?
2. Sementara itu, para teolog atau mutakallimin memaknai la ilaha dengan la maujuda (tidak ada yang ada, tidak ada yang wujud) kecuali Allah SWT sendiri. Klaim wujud atau eksis ini sangat menuntut adanya bukti (burhan), meski ia tetap berpedoman pada teks-teks agama, al-Qur’an dan al-Hadits misalnya, di samping perlu eksplorasi akal dan pembuktian secara rasional.
Para teolog adalah kaum rasionalis sebagaimana para filosof, meskipun demikian, mereka tetap meyakini bahwa wahyu itu suci dan ma'shum, sementara akal masih bisa diboncengi oleh nafsu dan embel-embel gembel lainnya.
3. Di sisi lain, para filosof memaknai la ilaha sebagai la ma’qula (tidak ada yang rasional) kecuali Tuhan itu sendiri, tidak ada Akal selain Dia. Pandangan ini mendapati relevansinya dengan pemikiran filsuf terbesar, Al-Farabi (w. 950 M), bahwa Tuhan adalah Al-‘Aqil, Al-‘Aql dan Al-Ma’qul.
Tuhan sebagai Al-‘Aqil yakni Tuhan adalah Subyek yang Berpikir dan memikirkan Diri-Nya sendiri, Dialah yang Rasional. Jika Tuhan itu Eternal (Qadim), maka, pikiran-Nya juga eternal; Tuhan sebagai Al-‘Aql adalah Tuhan sebagai Rasionalitas itu sendiri, yang dengan demikian, manusia bisa terhubung dengan sesama manusia, dengan alam semesta dan bahkan Tuhan karena memang terdapat akal universal, yakni pikiran Tuhan pada segala hal dan fenomena. Jagad raya inipun sebanarnya pikiran raksasa (grand mind), bukan mesin raksasa (grand mechine) sebagaimana disalahmengerti oleh kebanyakan orang; dan Tuhan sebagai Al-Ma’qul (Obyek yang terus-menerus dipikirakan) oleh manusia.
Sehingga Tuhan para filosof adalah Tuhan yang rasional, yang hanya mungkin dimengerti melalui eksplorasi akal budi. Dengan demikian, Tuhan adalah Pribadi yang terus-menerus hadir secara rasional dan dengan sendirinya, ini merupakan bantahan bagi kaum tekstualis yang dinilai terlalu “takut” dalam bertuhan dan beragama. Belakangan, tidak sedikit yang menuduh para filosof terlalu “berani” dalam bertuhan. Bagi para filosof, justru Tuhan akan sangat dan tetap Sakral karena Dia rasional.
4. Dan, para sufi atau mistikus memaknai la ilaha sebagai la mahbuba (tak ada yang pantas dicintai) selain Allah, tidak ada Kekasih selain Dia. Lagi-lagi, ini juga tamparan bagi kaum skriptualis yang terlalu tekstual dalam memahami Tuhan. Pada aspek "la mahbuba" inilah manusia dan Tuhan sangat mungkin bisa menyatu. Oleh karenanya, kita kenal teori hulul dan ittihad dari Al-Hallaj (w. 922 M), wahdah al-wujud ala Ibnu Arabi (w. 1240 M), al-fana’ fiLlah dari Abu Yazid al-Busthami (w. 874 M), teori al-mahabbah dari Rabiah al-Adawiyah (w. 801 M), dll.
Pertanyaan yang bisa dimunculkan adalah: ada diposisi manakah Anda?
# Disarikan dari buku Tersesat di Jalan yang Benar 2007 (edisi revisi)

Oleh : Ach Dhofir Zuhry

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.