USTADZ TV
Konon, di padang Arafah pada haji Wada' (terakhir) tiga bulan sebelum meninggal dunia, Kanjeng Nabi Muhammad Saw menyampaikan khotbah pamungkas (farewell speech) yang ditutup dengan sabda: "Rubba muballighin aw'a min sami'in" terjemah sederhananya lebih-kurang, acap kali seorang penyampai lebih mawas diri dari pada pendengar.
Praktis, lahirlah kata "muballigh" alias mubalig / penceramah pasca peristiwa tersebut. Mubalig adalah penganjur kesalehan, penyampai firman Tuhan dan sabda Nabi. Pada saat yang sama, mubalig bukan semata agamawan, ia adalah seorang ilmuwan, teolog, orator, intelektual, penjaga tradisi dan kearifan lokal. Ia bisa hadir sebagai sosok Faqih atau ahli yurisprudensi Islam, ia juga bisa seorang Sufi/Mistikus, bahkan mubalig juga seorang guru spiritual, penasehat para penguasa dan pendidik rakyat jelata.
Mubalig yang mula-mula datang ke persada Nusantara adalah para Sufi, para Wali. Mereka dikenal dan dimuliakan lantaran reputasi spiritual dan kesederhanaan hidup yang asketik. Mereka sungguh-sungguh diharap berkah dan hikmahnya oleh karena kesucian batin, kebeningan rohani, kejernihan akal budi dan keikhlasan dalam prilaku. Para Kanjeng Sunan itu sangat linuwih, mereka sangat kinasih, mereka weruh sadhurungé winarah (mengetahui masa depan). Mereka memiliki dan menggunakan walayah (sainthood) itu semata untuk mendidik, mencerdaskan dan mendewasakan umat.
Wali dikenal memiliki karomah/keramat (psikokinesis) nan memukau serta keluhuran budi—yang pada para Nabi disebut mukjizat. Tak ayal, umat manusia mendatanginya semata ingin menatap wajah teduh nan menentramkan gersang jiwa, atau sekadar untuk mereguk sisa air minumnya, serta terutama berharap doa, wejangan-wejangan, maupun aforisma-aforisma sufistik. Umat meyakini bahwa bermujalasah (duduk bersama), bermuwajjahah (menatap wajah sakral) para kekasih Tuhan adalah bergabung dengan pusaran energi semesta, menyatu dengan cinta universal dan lalu memantulkan cinta-kasih itu dalam keseharian. Bagaimana dengan para Wali yang telah wafat? Bahkan, makam para Wali sangat dikeramatkan, sehingga menziarahi pusara mereka menjadi tradisi kita pada bulan-bulan tertentu.
Pasca era para Sunan—Walisongo misalnya—otoritas para mubalig datang sebagai sosok Faqih. Darinya umat tahu halal-haram, baik-buruk, pantas-tak pantas, norma dan kesusilaan. Para Fuqaha' inilah yang disebut Kiai, Tuan Guru, Ajengan, Abuya, serta bebarapa istilah lain di daerah lain. Kiai, sejatinya, adalah nama untuk benda-benda keramat dan memilki kekuatan supranatural. Inilah penghormatan umat kepada sang Mubalig. Kiai juga identik dengan memiliki santri dan pesantrian alias pesantren (islamic collage). Santri diadaptasi dari bahasa Sansekerta "shastra" yang artinya Kitab Suci. Maka, shastri (santri) adalah mereka yang mempelajari Kitab Suci, dan Kiai adalah guru serta panutan para santri dalam segala aspek.
Lambat-laun, lantaran institusi—di samping reputasi—spiritual yang tinggi, Kiai dipersepsikan seolah tak boleh dikritik, karena memang pewaris para Nabi. Kepadanya umat harus bertaklid dan sekaligus melayani. Nah, setelah datangnya para modernis pada akhir abad ke-19 sampai era kemerdekaan, mulailah ada kritik-kritik tajam terhadap otoritas Kiai dan berikut institusi taklidnya. Kesenjangan sosial kian meruncing, tak sedikit yang terpancing. Justru para Kiai tradisional dianggap biang kemunduran umat (Islam), sehingga penghormatan kepada alim-ulama dianggap sebagai feodalisme. Dengan demikian, meminta berkah kepada Kiai baik yang masih hidup dan lebih-lebih yang telah meninggal, dianggap syirik (menyekutukan Tuhan).
Pesantren lalu dicibir sebgai kampungan, kumuh, jorok, tidak memiliki kurikulum yang jelas serta didaktik-metodik yang baik, ia tak lebih sekadar lembaga pendidikan yang sebenarnya hanya berisi pembodohan dengan iming-iming berkah dan tentu saja surga berikut bonus bidadari-bidadari molek. Pesantren kian terisolir, santri makin tersisih dari pergaulan hidup. Pendek kata, kaum sarungan terus menjadi obyek sinisme kaum celana, lebih-lebih celana cingkrang.
Semenatara itu, para Kiai klasik seolah menyepi dari keramaian, mereka mendirikan pesantren di pinggiran Negeri, di pedalaman yang jauh dari hingar-bingar dan polusi. Dan, memamg demikian, para Kiailah yang membangun dan mencerdaskan Indonesia dari pedesaan, dari sisi-sisi terluar Nusantara ini. Hal yang selama ini tidak disadari oleh pemerintah. Ya, kota tidak pernah mewakili Indonesia. Membangun dan mempercantik kota hanya kepalsuan belaka, semantara kita memiliki 27.000 desa yang belum terurus dengan baik. Tak urung, kaum modernis menganggap Kiai kampung teramat kolot dan konservatif.
Pasca kemerdekaan, globalisasi dengan segenap kegilaannya mulai menggelinding, Kiai kampung tetap bergeming. Masyarakat lalu menghadapi benturan nilai. Agama, yang tercabik-cabik ke dalam sekian sekte, tak mampu memberi keteduhan. Paham keagamaan berikut ormasnya, yang koyak-moyak (bahkan boyak) terseret arus menuju gelanggang politik praktis, semakin genit dan malah ugal-ugalan. Mereka adalah buih di tengah gelombang. Sementara itu, paguyuban dan konsorsium Islam radikal yang tekstualis kian mendapat angin segar. Dalam pada itu, teknologi modern berupa televisi juga berperan dalam mereduksi nilai-nilai luhur warisan leluhur. Di manakah agama yang sejuk sebagaimana dibawa kafilah para Sufi dulu?
Transisi Orde Lama ke Orde Baru seolah terus menggerus peran Kiai. Dengan jargon modernitas dan pembangunan, alih-alih mencerahkan dan menentramkan, sosok ulama modern yang kebanyakan makelar politik telah membawa agama menjadi kering. Agama kaum modernis—yang silau oleh kemajuan Barat—terasa gersang, setali tiga uang, agama kaum tekstualis—yang anti budaya dan Pancasila—kian kerontang. Keduanya tanpa makna, menguap begitu saja. Umat sungguh-sungguh merindukan oase yang bukan sekadar agama sebagai liturgi, tetapi juga nilai-nilai keagamaan yang mencerminkan keluhuran budi para Resi. Di manakah sang Mubalig sebagai sosok Sufi, atau setidaknya Faqih?
Adalah teknologi modern, adalah teknologi layar, media elektronik dan cetak, belakangan internet, komputer jinjing, tablet dan gawai yang berperan mahapenting terus menggerus dan lantas menjungkir-balikkan institusi nilai dan norma yang telah dibangun para Kiai kampung. Dampaknya? Kualifikasi ulama dan mubalig justru harus mengikuti selera media dan pangsa pasar, bukan lagi integritas moral, kualitas ilmu dan apalagi kedalaman spiritual. Televisi mengemas dakwah dengan konsep hiburan, muatan dakwah nomor sekian, lawakan nomor satu. Sosok Kiai telah direduksi menjadi sekadar "ustadz-ustadzah" saja.
Apakah ustadz televisi mirip artis? Mereka memang sosialita dan penghibur, mereka memang selebritas, sama sekali. Jangan lagi tanya kedalaman agama dan moral, dakwah mereka adalah hiburan dengan standar make up, tata letak, efek visual dan audio. Mereka punya banyak fans yang mereka sebut jamaah. Di wajah ustadz-ustadz TV itu tak ada aura sakral sebagaimana Kiai kampung, yang ada adalah sinar yang berasal dari sorot lampu kamera. Meraka gampang nangis dan sejurus kemudian lalu terpingkal geli, mereka tak lagi fasih melantunkan firman dan sabda, apalagi membaca kitab kuning karya ulama klasik, maka lahirlah fatwa dan ajaran agama yang bersumber dari banalitas, dari kedangkalan dan kejumudan.
Sebagai artis, mubalig TV tentu menganggap dakwah sebagai budaya pop. Mereka hanya bergaul dengan kalangan ekslusif, pengusaha, politisi dan cendrung dekat—lebih tepatnya menjilat—terhadap kekuasan, gaya hidup penuh aksesoris, kental dengan hedonisme murahan, seminggu sekali, ustadz TV umroh dengan isteri-isteri muda, sebulan sekali liburan ke Eropa dengan para fans yang mereka sebut jamaah, life style mereka bahkan lebih glamour dari bintang Hollywood, memiliki manajeman dan agen, mobil mewah, moge, rumah megah, menyembah popularitas dan publisitas. Gerombolan ini juga menerima panggilan demo berjilid-jilid dan sweeping. Bagaimana kalau ingin mengundang mubalig pop itu ke kampung Anda? Hubungi agen, buatlah janji dan deal, bayar dulu uang muka, sediakan hotel bintang 7, empat tiket pesawat kelas bisnis: satu untuk Ustadz yang bersangkutan, satu untuk manajernya, satu untuk tukang poles wajah, dan satu lagi untuk isteri sirri sang Ustadz.
Lagi, sebagai sosialita, gerombolan ustadz TV adalah pusat pemberitaan infotainment. Media sengaja "menjual" setiap jengkal privasi mereka sedemikian gila dan memuakkan: kawanan ustadz TV itu tak jauh dari berita pisah ranjang, kawin-cerai, poligami kelas kambing, selingkuh, merangkap menjadi dukun cabul, pemburu hantu, bintang iklan, penyanyi abal-abal, pesulap serta menjadi agen MLM, belakangan ada juga mubalig yang jualan proyek melalui lembaga dan ormas, di samping jualan narkoba, dzikir dan air mata tentu saja. Mereka menjadikan jamaah sebagai mesin ATM, mereka tak lebih dari para penyamun, begal, perompak, bromocorah dan begundal-begundal industri yang berorientasi hanya pada kelamin dan bermazhab selangkangan.
Ironi ini terus merangkak naik menggejala dan mewabah justru ketika umat merindukan mubalig dalam sosok pemimpin rohani. Tetapi, media tetap media, televisi takkan pernah waras, ustadz karbitan dan mubalig kacangan terus diproduksi secara masal melalui acara semacam Pildacil dan kontes-kontes bau kentut lainnya. Bulan Ramadhan selalu banjir bandang ustadz amatir, melimpah penceramah latah, dan tentu saja lagu-lagu religi sesuai selera pasar. Sekali lagi, media massa tetaplah media, penjual mimpi dan angan-angan yang paling ampuh, serta alat propaganda yang paling jumawa. Ia akan terus menjadi pabrik bagi naik dan runtuhnya pesohor bernama mubalig. Nyaris sama dengan para petinggi partai politik, ustadz-ustadz TV yang memang pseudo ulama, mubalig-mubalig media yang memang picisan akan dapat melejit dalam sekedipan mata dan lalu pudar dalam sekejap saja, berlakulah hukum pasar.
Namun demikian, nun jauh dari gemerlap media, sosok pemimpin rohani masih dan akan terus ada. Para kekasih Tuhan itu merentangkan malamnya menjadi sajadah, menjadi munajat untuk kebaikan umat manusia dan kemaslahatan Negara, mereka menghamparkan siang untuk bertani, berkebun, dan mendidik para santri sebagai harapan masa depan Negeri. Di tengah gelegak zaman yang penuh tipu daya para politisi, Kiai-kiai kampung tetap bersikukuh menempuh jalan sunyi dengan menghindari publisitas. Dalam pandangan mereka, popularitas adalah bencana bagi bangunan hakiki bernama spiritualitas. Mereka lebih memilih terkenal di langit dari pada di bumi. (Ach Dhofir Zuhry/REY)
#janganlupangopi
Tidak ada komentar